Tidak ada uang jajan, Aku Jualan Es



Waktu Shubuh menjadi pembuka aktivitas dapur Bunda tiap hari, dan mungkin semua kaum ibu seperti itu. Suara Cobek batu yang bergerutu seolah menjadi cara halus bunda untuk membangunkan aku dan saudara-saudaraku tiap paginya. Kebiasaan semua ibu-ibu di dusun kecil itu adalah membuat menu sarapan yang sama, sambal goreng, nasi dan air putih. Tiap pagi Bunda selalu membuatkan menu-menu spesial untuk sarapan kami sekeluarga. Sambel Sebie Beleq, Sambel Antap, Sambel Komak, Sambel Botor dan kadang Sambel Teloq Lebur.

Meski menu sarapan tiap hari hampir sama, Bundaku terlalu pintar untuk sekedar meracik sambal itu dengan sedikit bumbu cinta dan kasih sayang. Aku merasa makan sambal waktu itu serasa ayam goreng. Aku tak tahu apakah Bunda memiliki resep rahasia ? Atau aku hanya termakan sebuah kalimat bijak seorang pujangga yang mengatakan bahwa, di dunia ini tak ada yang spesial melainkan karena kamu memang menganggap hal itu spesial.Tapi mungkin itu perasaanku saja.

Aku ke sekolah kadang membawa uang saku kadang tidak. Karena uang petani tidak menentu, tidak seperti pegawai yang selalu punya uang tiap tanggal muda. Hal itu bukanlah penghambat untukku, aku tidak seperti anak lain yang tidak berangkat sekolah kalau tidak ada jatah uang jajan.

“Pagi ini kamu sarapan yang banyak ya nanda, bunda belum punya uang untuk nanda pagi ini. Kedelai kita tanam dulu belum ada yang beli” pesan bunda pagi-pagi
“Ya, bund” jawabku singkat

Tapi pagi itu aku dapat uang jajan seratus rupiah, cukup buat beli pencok dan air minum.

Kadang aku di sekolah disuruh ibu guru pergi ke pasar, sekitar 200 meter dari sekolahku, membeli Serabi kesukaan beliau. Dan biasanya aku dapat upah. Satu saat aku kembali membawakan serabi pesanan ibu guru.

“Apa yang kamu lakukan di pasar sehingga kamu lama sekali” suara bu guru meninggi.
“Antre bu guru” aku menunduk.
Ibu guru terlihat kesal.
“Terus, kenapa serabinya tidak dibungkus daun pisang” kembali bu guru mengintrogasi aku.
“Kata yang dagang serabi, daun pisangnya habis bu guru” aku tetap menunduk
Mungkin bu guru iba dengan wajahku yang tertunduk, “Lain kali, kalu kamu nunggu terlalu lama atau daun pisangnya habis tidak usah beli serabi. Kamu langsung balik ke sekolah” beliau berpesan.
“Ya bu guru” jawabku

Selain membelikan ibu guru serabi ke pasar, aku di sekolah juga berjualan es, aku nendak di ibu guru. Pagi-pagi ibu guru seseorang membawakan es ibu guru ke sekolah untuk ku jual.

“Teng . . . teng . . . teng . . . ng ng ng” lonceng keluar main berbunyi
Aku siap dengan es daganganku keliling ke semua ruang kelas untuk ku jual.
“Es, es, es, seratus rupiah” aku teriak
“Es, es, es, garus babak, satus jari satak” mengeluarkan mantra yang sering aku dengar tiap orang berjualan.
Es yang aku jual biasanya habis ketika keluar main ke dua. Hasil penjualan terbesar yang pernah aku raih saat itu sekitar dua ribu tujuh ratus rupiah, itu sudah termasuk bonus dari ibu guru karena melihat kegigihan ku berjualan.

Di suatu pagi saat keluar main aku diam di dalam kelas, karena waktu itu aku tidak mendapat uang jajan.

“Gayok, kamu ditunggu ibumu di depan gerbang” Tiba-tiba aku dipanggil ibu guru, katanya Bundaku menunggu di depan gerbang sekolah.
“Ya, terima kasih bu guru” Aku berlari menuju Bunda yang menungguku sedari tadi di depan gerbang sekolah.

Dengan memikul Keraro Bundaku ternyata membawa Paoq Odaq yang akan dijual di kantin kecil di sekolahku.

“Ini bunda membawa paoq odaq, bunda mau titip jual di kantin. Nanti hasil jualan itu nanda pakai belanja sebagian sama kakak lalu bawa pulang sebagian” pesan bunda.
“Ya bunda” aku menemani bunda ke kantin untuk titip paoq odaq.

Mungkin pagi itu Bunda merasa kasihan kepadaku, dan aku rasa naluri semua ibu sama seperti Bundaku.

Ketika di Bangket tengah panen kedelai maka Bunda tidak memberi kami jatah uang jajan. Aku dan kakak perempuanku disiapkan Kedelai Kulup beberapa ikat kecil untuk kami jual di sekolah. Kedelai yang tidak habis terjual kami makan sebagian tau kami bawa pulang untuk di rebus kembali dan kami akan menjualnya hari esok.

Aku bukanlah tipe anak yang kaku, aku sangat vokal sehingga tiap jasa yang aku tawarkan selalu mendapatkan respon yang baik. Walaupun kadang ada juga yang tidak suka dengan 'kehebohan'ku.


Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Sasak: 50 Kalimat Populer Di Pulau Lombok

Kamus Bahasa Lombok/Sasak (A-D)

Bahasa Sasak : Ungkapan sehari-hari