Berani beda itu “Cool”
Asap yang tadinya mengepul keluar dari bilik berpagar bambu itu sudah mulai berkurang. Artinya Bunda telah selesai menyiapkan Penyampah untuk keluarga kami. Aturan tak tertulis di keluarga ku yang selalu di wariskan turun temurun bahwa nasi sisa makan malam harus didahulukan lalu wajib ditutup dengan nasi hangat yang dibuat pagi itu meskipun hanya sesuap.
Hari Senin pagi itu aku harus lekas berangkat ke sekolah. Aku memakai seragam Putih-Merah, tidak lupa biar harum aku mengusapkan Hand n' Body Lotion keseluruh baju seragam putihku. Sebelum upacara dimulai kami sudah harus membersihkan kelas. Bagiku dulu ketika SD upacara bendera itu hanya rutinitas seremonial saja, tidak lebih. Sehingga aku dan teman-teman ku hanya mengikuti tanpa tahu apa tujuannya. Bagian yang paling seru ketika upacara bendera kala itu adalah 'Mengheningkan Cipta'. Ya. . . ketika semua peserta upacara menundukkan kepala dengan penuh khidmat.
“Untuk mengenang jasa para pahlawan kita yang telah
gugur di medan juang, marilah kita sama-sama mengheningkan cipta,
menghentingkan cipta, mulai” perintah Kepala Sekolah yang bertindak sebagai
Pembina upacara.
Lagu untuk mengheningkan ciptapun terlantunkan.
Sedang Aku dan teman di sampingku
mulai berkreasi. Kami mengumpulkan tanah dengan kaki-kaki kami, kemudian
membentuk pola-pola yang dalam imajinasi kami kala itu.
“Hei, ck ck ck” dengan isyarat aku mengajak teman
memulai kreasi.
“Oke, ” mengangkat jempol tanda teman ku sedia.
Kata
orang bijak, imajinasi adalah bentuk kebebasan tanpa batas, tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu. Namun kadang kami apes, ibu guru yang mendapati kami tengah
berkreasi menarik sebagian kecil Atên-atên
kami, tapi itulah resiko sebuah kreativitas.
“Apa yang kalian lakukan di saat seperti ini” menarik
kami.
“Bukankah beliau juga tidak ikut mengheningkan cipta?,
bkankah beliau hanya memperhatikan kami yang berkreasi?, kenapa beliau tidak
menarik kami selesai mengheningkan cipta saja” gumamku dalam rasa sakit karena
aten-aten yang ditarik.
Selesai
upacara aku dan teman kelas ku duduk di bawah Pohon Ancak, menunggu jam pelajaran di mulai.
Kami belajar mulai sekitar pukul 09.15 WITA. Aku melihat ada anak-anak kelas tiga
yang main ayunan dengan ranting Kayu Johar yang ada di pinggir lapangan sekolah saat jam pelajaran Penjaskes.
“Hei, lihat aku. Satu dua tiga, . . . yaaaaaaaa” anak
itu berayun
Aku menatap dari kejauhan dan
ingin sekali mencobanya, kebetulan lonceng berbunyi mereka berlari masuk kelas untuk mengikuti pelajran selanjutnya.
Aku gunakan kesempatan ini dengan baik,
mungkin tidak ada kesempatan lain lagi, kemudian dengan santai aku mendekat ke arah pohon itu,
aku lirik kiri kanan untuk antisipasi kalau-kalau
nanti ada yang lewat. Aku memegang erat ranting tersebut, mundur mengambil langkah dan . . .
brug . . . braak, aku
terjatuh. Dadaku terasa sakit sekali. Dengan
sedikit rasa sakit aku berjalan ke kumpulan
teman-teman yang berdiri depa kelas, karena sebentar lagi masuk
kelas. Aku
saat itu belum mampu memprediksi jumlah
ranting yang harus aku gabungkan untuk menopang berat tubuhku yang saat itu
cukup 'bulat'. Tetapi dari kejadian
itu aku mendapat pelajaran bahwa untuk melakukan hal-hal baru yang kemungkinan
memalukan maka pastikan tidak ada orang yang melihatmu.
Pernah
suatu hari teman ku membawa minyak rambut ''Mr.
Jack'', minyak rambut ternama saat itu. Itu adalah oleh-oleh dari pamannya
yang baru pulang dari Malaysia. Ketika keluar main, aku membujuknya untuk
berbagi minyak rambut yang ia bawa. Lalu kami ke Bebaleq yang ada di sawah tepat di belakang sekolah kami. Dengan
jari-jemari yang menghujam ke dalam wadah minyak rambut itu, aku lalu
meratakannya di tangan mengusap ke seluruh rambutku, sesuai aturan pakai yang
ada di samping wadah kemasan.
Ketika kami masuk kelas, ibu guru menatap kami. Seolah ada pesona baru yang beliau lihat dari wajah kami. Tentu saja rambut kami beda.
Ketika kami masuk kelas, ibu guru menatap kami. Seolah ada pesona baru yang beliau lihat dari wajah kami. Tentu saja rambut kami beda.
Comments
Post a Comment