Bunda: Gadis Sasak Lombok Dulu
Cerita
Papuqku tentu lebih menyentuh dan sangat menyedihkan bila dibandingkan dengan
cerita Bunda, tetapi cerita Bunda lebih sistematis.
“Bunda,
kalo Bunda bandingkan kehidupan remaja sekarang dengan remaja jamannya Bunda,
lebih tertib yang mana?” tanyaku sedikit memancing.
“hm...
???” Bunda menatapku dengan senyum renyah khasnya.
“Bunda
tidak tahu, tapi sebenarnya dirimu bisa bandingkan sendiri remaja yang nanda
temui awal tahun 90-an dengan remaja yang nanda temui pada tahun 2000-an” jawab
Bundaku bijak.
Aku
sedikit terperangah
dengan jawaban Bunda yang bijak. “Kalau begitu bagi anakmu ini pengalaman Bunda
ketika remaja dulu” pintaku.
“Nanda
mau cerita yang mana?” timbal Bunda lagi.
“Kalau
awal ketemu ayah bagaimana?” aku sambung ucapan Bunda.
“yha
. . . jadi begini nanda, ini bukan pegalaman Bunda. Tetapi hampir semua remaja
gadis saat itu memulai perkenalan mereka pada saat “Mataq Reket” atau pada saat
“Ngaret Kao” tidak jauh dari dua hal tersebut. Kaum laki-laki yang sudah balig biasanya membantu panen
padi dengan suka rela di Bangket gadis yang menjadi incarannya. Terus kalau
sudah ketahuan tidak ada saingan, umumnya kaum laki-laki akan membawa hadiah
buat gadis incarannya” Bunda mencoba mengingat masa-masa itu.
“Terus
barang-barang bawaan yang sering dijadikan hadiah apa saja Bunda?” tanyaku menyeka cerita Bunda.
“Waktu
itu, . . . ya. Waktu itu biasanya laki-laki membawa sabun. Tetapi bukan seperti
sabun saat ini. Sabun jaman dulu itu sabun batangan berfungsi ganda bisa untuk
mandi juga untuk nyuci pakaian. Paling banter ya, mereka membawa gula dan kopi.
Satu barang yang jarang sekali dilupakan oleh mereka laki-laki saat itu adalah
membawa radio. Bunda tidak tahu kenapa? He . . .pokoknya jadul, katrok gitu lah
” cerita Bunda malu-malu.
“Terus
kalo malam” tanyaku penasaran.
“Kalau
malam kaum laki-laki sulit sekali bisa masuk ke rumah, karena Jebak (Sasak, gerbang) akan tertutup rapat
serapat-rapatnya begitu matahri tenggelam, nanda
tahu kan dulu rawan maling. Jadi lelaki yang bisa
sampai rumah adalah mereka yang sedari siang tadi membantu keluarga gadis
“Ngaret Kao” dan menjaganya lagi hingga pagi.
Laki-laki
yang belum menikah tidak boleh duduk satu tikar dengan seorang gadis, kalau laki-laki mau
berbicara dengan gadis maka si gadis harus di temani keluarganya. Terus si
gadis duduk di dekat pintu kamarnya, sedangkan si laki-laki duduk di dekat pintu
utama keluar-masuk rumah. Sudah dulu ya nanda, Bunda ngantuk sekali, Bunda
besok “Nujaq Reket” buat “Poteng” dan “Banget Jujun”” tutup Bunda.
“Ow
ya, dah Bunda. Terima Kasih ya ceritanya” aku menikmati cerita Bunda.
Kondisi
jaman itu dengan jaman sekarang tentu jauh berbeda, perkembangan alat
transportasi dan telekomunikasi paling tidak telah mengubah pola kehidupan
remaja sekarang.
Jangan
pernah membandingkan pendidikan Suku Pedalaman yang dulu dengan yang sekarang,
Jangan
pernah membandingkan kecanggihan alat pertanian jaman dulu dengan yang sekarang
Jangan
pernah membandingkan penampilan orang dulu dengan yang sekarang.
Tentu
yang sekarang akan MENANG TELAK.
Tapi
. . .
ketika
kita ingin melihat kuatnya tata krama
ketika
kita ingin melihat kentalnya semangat gotong royong
ketika
kita ingin melihat kepatuhan muda kepada yang tua
Maka . . .
Maka . . .
Belajarlah
dari mereka yang tua,
Di
akhir cerita Bunda, tiba-tiba beliau berpesan “Tapi ingat satu hal nanda, bila
ada dua hal yang mampu membuat hati kecilmu berbunga, rawat keduanya dengan
adil. Seperti Bunda merawat Bawang dan Cabai di atas petakan Bangket yang sama, nanda tahu kan?”
pesan beliau.
“Insya.allah
Bunda” jawabku bingung mengiyakan nasehat
bunda.
Hihihi mas imunk,,,,
ReplyDeleteBagus2,,,,,,,
tengkiyu sudah mampir mba wind...... semoga tidak bosan membaca potingan yg lain. . . .he promo
DeleteDi akhir cerita Bunda, tiba-tiba beliau berpesan “Tapi ingat satu hal nanda, bila ada dua hal yang mampu membuat hati kecilmu berbunga, rawat keduanya dengan adil. Seperti Bunda merawat Bawang dan Cabai di atas petakan Bangket yang sama, nanda tahu kan?” pesan beliau.
ReplyDeletebelum faham saya ka imung?