Tangis Bunda
“Hiks . . .hiks. . .shs hks . . .” aku mendengar sepertinya ada
suara isak tangis. Tapi dari mana suara itu ? Aku jalan perlahan bak kucing
mengintai mangsa, suara itu semakin jelas berasal dari bilik kelambu merah
lusuh termakan usia.
“Bukankah itu tempat tidur Bunda
?” tanyaku dalam hati.
“Apakah yang menagis di
dalam itu adalah Bunda, lantas apakah yang beliau tangisi ?” gumamku.
Suara isak tangis itu seolah
hasil bendungan perasaan yang telah bertahun-tahun tertanam dalam relung hati Bunda,
sepertinya kali ini beliau tak mampu lagi menampung rasa yang meluap-luap itu.
Rasa yang tumbuh dari hati
kecil seorang wanita tua pedalaman Suku Sasak yang bertubuh
sedikit mengurus, dahi yang dipenuhi
guratan-guratan usia, kulit yang kusam dan kering menjadi bukti nyata bahwa ia
seolah telah jenuh dengan kondisisnya itu ataukah ada hal lain ia sedang
tangisi, ataukah ada sikapku yang telah membuat air mata berharga tumpah
sia-sia.
Rumah tua dengan pagar bedek
berwana hitam legam karena telah terlalu lama terpapar asap dari dapur.
Aku mendekati bilik merah
tersebut. Aku tercengang. Aku melihat Bunda menangis terisak-isak dengan
“limpot” yang menutupi wajahnya untuk meredam suara isak tangis yang kian
kencang.
“Bunda . . .” sapaku.
“Bunda kenapa menangis, Bunda
tidak apa-apa kan?” aku mencoba menegur Bunda lebih jauh.
“Tidak nanda, Bunda tidak
apa-apa” jawab Bunda dengan isak tangis yang mulai reda, smabil ia mengusap air
matanya.
“Bunda hanya terharu dengan
apa yang Bunda alami di rumah ini bersama keluarga kecil dan anak-anak Bunda, Bunda
rindu berkumpul bersama lagi dengan kalian semua, bersua dalam canda, larut
dalam tawa, hanyut dalam lara yang sama. Bunda juga teringat almarhum ayahmu
yang meninggalakan kita beberapa tahun lalu, semoga ayahmu
diterima di Sisi-Nya ya nak” lanjut Bundaku.
“Aamiin, semoga ayah tenang
di alam sana mendapat tempat yang terbaik di Sisi-Nya. Ow ya bund, Insya.allah
lebaran ini kita akan berkumpul semua, kakak-kakak yang sekarang di luar kota
juga berjanji akan pulang kampung kali ini, jadi Bunda jangan sedih lagi
ya....” aku usap air matanya dengan “limpot ” yang ia pegang.
“Bunda ingat masa kecil
kalian dulu, ketika kita bertujuh jalan bersama ke Bangket. Bunda menggendong
adikmu dan dirimu nanda di gendong ayah” ingat Bunda.
Aku duduk di bawah. Aku
memegang jari Bunda yang mulai keriput dan kasar karena sepanjang hidupnya
mengurusi Bangket kami seorang diri.
Aku mencium tangan Bunda. “Bunda jangan sedih lagi, ya” hiburku.
Menebar kasih sayang ke
anak-anaknya adalah hal yang telah menjadi takdir dalam diri seorang ibu.
Termasuk Bundaku, ya Bundaku. Bundaku memang pekerja keras. Hampir semua
pekerjaan laki-laki beliau sanggup lakukan, membelah kayu dengan “kandik”,
mencangkul, mengurus hewan ternak. Semenjak ayah “pergi” Bundalah yang menjadi
tulang punggung keluarga kami, mengurus aku, kakak, adek dan kakekku. Namun
begitu naluri keibuannya tak pernah terkikis meski ia sibuk bekerja, kasih
sayang beliau tak habis termakan usia, kerinduannya kepada kami tak kan menguap
di bawah terik mentari.
Beliaulah yang pertama
mengusap air mata kami saat bayi, dan kami ingin suatu saat meniup mata Bunda ketika
kelilip debu.
Beliau sabar mengajar
kami
berjalan, dan kami ingin selalu disamping bunda ketika beliau tak sanggup
lagi berjalan
Beliau yang membenarkan
kata-kata kami ketika kami baru belajar mengenal kata,
dan
kami tak ingin sombong dan angkuh menentang kata-kata Bunda yang keliru karena usianya.
Guru ngajiku dulu pernah
mengajarkan kami untuk selalu berbakti dan mendo’akan kedua orang tua kami.
“Robbighfirli wa liwalidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro, ya Allah
ampunilah dosaku, dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangiku sewaktu kecil”. Ya Tuhan kami jangan jadikan kami sebagai orang
yang mendurhakai orang tua kami.
Comments
Post a Comment