Mengheningkan Cipta Mulai "Berkreasi"

Sumber Gambar: www.kidnesia.com

Asap yang tadinya mengepul keluar dari bilik berpagar bambu itu sudah mulai berkurang. Artinya Bunda telah selesai menyiapkan Penyampah untuk keluarga kami. Aturan tak tertulis di keluarga ku yang selalu di wariskan turun temurun bahwa nasi sisa makan malam harus dihabiskan terlebih dahulu, dan kemudian “wajib” hukumnya ditutup dengan nasi hangat yang dibuat pagi itu meskipun hanya satu suapan saja.

Hari Senin pagi itu aku harus lekas berangkat ke sekolah. Aku memakai seragam Putih-Merah, tidak lupa mengusapkan HENBODI (Hand n' Body Lotion) keseluruh baju seragam putihku, biar wangi semerbak. Penggunaan HENBODI ini menjadi vital karena dua alasan, karena hari senin dan upacara bendera. Sebelum upacara dimulai kami sudah harus membersihkan kelas, pembagian tugas cukup adil siswa laki-laki mengangkat bangku dan siswi menyapu lantai kelas. Ini merupakan kewjiban yang tidak boleh dilalaikan, semua siswa-siswi tahu apa akibatnya kalau guru datang memeriksa sedangkan kelas dalam keadaan tidak bersih. Setelah merapikan kembali bangku dan meja belajar, kami bergegas menuju lapangan sekolah, karena upacara bendera sebentar lagi akan dimulai.

Bagiku ketika SD dulu, upacara bendera itu hanya rutinitas seremonial saja, tidak lebih. Sehingga aku dan teman-teman ku hanya mengikuti tanpa tahu apa tujuannya. Semua perintah dan gerakan sama tiap hari seninnya, yang berbeda hanya petugas upacara. Bagian yang paling seru ketika upacara bendera kala itu adalah 'Mengheningkan Cipta'. Ya. . . ketika semua peserta upacara menundukkan kepala dengan penuh khidmat.

“Untuk mengenang jasa para pahlawan kita yang telah gugur di medan juang, marilah kita sama-sama mengheningkan cipta, menghentingkan cipta, mulai” perintah Kepala Sekolah yang bertindak sebagai Pembina upacara. Dirgen panduan suara memulai gerakannya dan lagu untuk mengheningkan ciptapun dinyanyikan.

Semua peserta upacara menundukkan kepala. Namun aku berpikir bahwa aku bisa melakukan hal lain, aku tidak hanya bisa menundukkan kepala. Disitulah Aku dan teman di sampingku mulai berkreasi.

“Hei, ck ck ck” dengan isyarat aku mengajak teman memulai kreasi.
“Oke, ” mengangkat jempol tanda teman ku sedia.

Kata orang bijak, imajinasi adalah bentuk kebebasan tanpa batas, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kami mengumpulkan tanah dengan kaki-kaki kami yang tak beralas, kemudian membentuk pola-pola yang ada dalam imajinasi kami kala itu. Kaki-kaki kami begitu aktif menarik dan mengumpulkan tanah lembut untuk membuat kreasi unik, duplikat telapak kaki ala pangeran-pangeran jaman kerajaan kuno, membuat gunung-gunung, dan kreasi lainnya. Tetapi disaat kami sedang dalam puncak kreativitas tiba-tiba ada yang menegur kami.

“Apa yang kalian lakukan di saat seperti ini” guru menarik kami keluar barisan.
“Bukankah beliau juga tidak ikut mengheningkan cipta?, bukankah beliau hanya memperhatikan kami yang berkreasi?, kenapa beliau tidak menarik kami selesai mengheningkan cipta saja” gumamku dalam rasa sakit karena aten-aten yang ditarik.


Guru yang mendapati kami tengah berkreasi menarik sebagian kecil rambut Atên-atên kami, rasanya sungguh perih, ya . . . .perih sangat perih tapi bagi kami kala itu, itulah resiko sebuah ‘imajinasi dan kreativitas’.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Sasak: 50 Kalimat Populer Di Pulau Lombok

Bahasa Sasak : Ungkapan sehari-hari

Kamus Bahasa Lombok/Sasak (A-D)