Puasa Perdana


“Nanda, bangun dulu yuk. Besok kan nanda akan melaksanakan puasa perdana” bunda dengan lembut membangunkanku.
“Yhaaaaaaa, . . . . .oaaaaaammmm” dengan menggeliatkan tangan aku bangun dengan rasa kantuk.
“Nanda cuci muka dulu sana” bunda menyuruhku.
“Ya bunda” aku melangkah membawa kantuk ke Bong dekat Jebak rumah.
......................@$%#^%$#^&&%................................
“Sahuuuur . . .Sahur . . .Sahuuur . . .” suara teriakan dari masjid yang dimaksudkan untuk membangunkan warga kampung untuk makan sahur.
“Sahuuuur . . .Sahur . . .Sahuuur . . .silaq inaq amaq semeton jari pade tues ngelor sahur, waktu leq masjid menunjukkan jam telu lebih dua menit, waktu makan sahur karing sejam lebih empat pulu baluq menit. Sahuuuuurrr . . . .sahur . . . sahuuuurrrrr” teriaknya lagi.
Teriakan ini diulangi sekitar 5 menit sekali hingga waktu imsak tiba.
“Awaaaaasss, waktu imsak wah dateng......... waktu imsak wah dateng............ waktu imsak wah dateng.........” digunakan sebagai teriakan penutup.
......................&^%#^%$^%....................................
Ya, waktu kecil dulu makan sahur biasanya kami lakukan sekitar pukul 3. Kami belum tahu tentang anjuran mengakhirkan makan sahur. Setelah makan sahur selesai aku mencuci tangan dan tidur lagi. Entah apa yang terjadi setiap tidur yang aku lakukan setelah selesai makan sahur kala itu, maka aku akan terbangun keurang lebih jam 11 menjelang siang dan itu tanpa gangguan.
“Nanda, bangun.... bangun,...... bangun.....hari sudah siang” bunda membangunkanku.
“Mandi dulu sana biar badan lebih seger dan ga ngatuk lagi” bunda menyambung.
“Nanti kalo udah mandi, bunda kasi hadiah” bunda mencoba memancing agar aku terbangun.
Siapa yang tak akan luluh dengan cara bunda merayu, entah mengapa ketika aku sedang merajuk aku selalu kalah dengan rayuan bunda, apalagi melihat matanya. Sungguh mata ini terasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk sekedar menatap mata bunda yang sedang merayuku. Aku lantas bangun dan pergi mandi.
“Ini bunda kasi Paoq Perawa (entah mangga jenis apa ini, tapi rasanya manis dan wanginya khasa sekali), nanda simpan sendiri untuk berbuka nanti” bunda memberiku mangga.
Tentu ini menjadi ujian yang sangat berat bagi anak kecil untuk menjaga amanah dari bunda, meskipun bunda tidak pernah mewajibkan aku untuk puasa satu hari full tetapi ada rasa yang kurang bila harus membatalkan pada pertengannya.
“Mangga ini besar, kalo aku makan sedikit sekarang dan sebagian nanti pas buka puasa juga sepertinya tidak mengapa” batinku mulai membenak.
“Mangga ini memang manis, tapi wanginya yang khas bisa jadi boomerang untukku kalo memakannya. Aromanya pasti khas kalo aku nantinya bicara dengan orang lain” bantinku melawan.
Tapi aku tentu saja kuat menahan diri untuk tidak memakan mangga itu, kekuatan itu berlangsung beberapa puluh menit setelah aku membatin. Aku menjadi lebih banyak bermain sendiri untuk mengurangi resiko ketahuan, tetapi pada akhirnya akupun ketahuan karena pada saat buka puasa, isi mangga yang aku simpan paling sedikit di piring setelah di potong-potong.
Tidak ada hukuman untuk hal ini, namun tatapan dan senyum ayah dan bunda sudah cukup untuk menghentikan cara puasaku ini. Senyum dan tatapan beliau seolah mengatakan . . . .
“Nanda jangan ulangi hal yang sama lagi ya. . .”
“Apa yang nanda lakukan akan dimintai pertanggung jawaban”
“Jangan ikuti kami, tapi carilah cara yang benar”
“Kami dulu pun begitu, maka biarlah kami generasi terakhir yang melakukan nya”
“Kalo nanda jadi anak yang tidak taat lalu apa yang akan ayah-bunda banggakan di akhirat”


Sumber Foto: https://www.tokopedia.com/tabibonline/tanaman-buah-mangga-manalagi

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bahasa Sasak: 50 Kalimat Populer Di Pulau Lombok

Kamus Bahasa Lombok/Sasak (A-D)

Bahasa Sasak : Ungkapan sehari-hari