Nenek dengan Jowong-nya Tak Kuat Menahan Tangis


Posisi duduk nomor 9 membuatku lebih leluasa untuk melihat kawasan yang akan aku lalui. Berangkat dari terminal Mandalika-Mataram sekitar pukul 11.00 WITA bus malam yang aku tumpangi bergerak menuju Pelabuhan Penyebrangan Lembar. Kalu tidak salah ini adalah perjalanan ke-3 saya keluar dari Lombok ke arah barat melewati Lembar. Dan siang itu aku melihat kejadian yang sungguh menggugah, mengharukan, menyentuh, menumpahkan air mata.
Bus yang aku tumpangi masih menyisakan sekitar 20-an kursi kosong di belakang, dan aku berfikir bus ini terlalu nekat untuk berangkat dengan penumpang yang sedikit sekali. Namun ternyata apa yang aku fikirkan tidak benar adanya. Ketika bus yang akau tumpangi sudah mengambil tempat parkir dan antrian, aku melihat sebuah Montor Penginag (Mobil Pick-Up) berwarna hitam memasuki gerbang Pelabuhan Penyeberang Lembar. Sekelompok anak-anak usia belasan tahun, aku perkirakan mereka masih duduk di bangku SMP, berjalan menuju bus yang aku tumpangi. Sedangkan Montor Penginang masih memuat beberapa orang tua dan seorang pria bertubuh pendek dengan jenggot dan peci ples sorban membuat aku berfikir bahwa mereka adalah santri dari sebuah pondok pesantren di Lombok Barat.
Setelah anak-anak tersebut naik bus tiba-tiba, . . . . . . 
“hik. . . hik . . . hik . . . ” seorang nenek tua berpakaian rapih tersedu menatap ke arahku yang ada di dalam bus.
Seorang nenek dengan Tangkong Kutang (kata Ibu ku, itu baju jaman dulu) yang masih baru, lengkap dengan Kereng Bendang dan Jowong-nya berjalan mendekat ke bus yang aku tumpangi. Aku menjadi terharu dan tersentuh . . . .
“Bagaimana mungkin seorang nenek tiba-tiba menangisi aku disini, padahal di sekitar Lembar aku tak memiliki kerabat, atau jangan-jangan aku mirip seseorang” aku membenak sekilas.
Nenek itu berjalan menuju kenek bus . . .
“Boleh saya masuk ???” tanya nenek.
“Yaq de kembe puq???” tany kenek
“Mele ku siarah dait baingke semendaq” kata nenek.
Dengan wajah sedih seolah akan berpisah jauh dalam waktu yang lama nenek itu akhirnya masuk bus. Aku menatap nenek itu, aku benar-benar dibuat terharu . . . nenek itu mendekat kepadaku . . . . berjalan semakin dekat . . . semakin dekat. Dan akhirnya . . .
Nenek itu memeluk erat cucunya yang tergabung bersama santri-santri tadi yang kebetulan duduk di belakang saya. Entah apa yang nenek itu bisikkan kepada cucunya namun peristiwa itu mebuat akau menjadi semakin terharu, tangis nenek memperlihatkan betapa ia sangat tidak siap untuk berpisa dengan cucunya.
“Mbe jaq yaqm laiq ???” aku bertanya kepada salah satu anak itu.
“Lalo Kursus Base Inggris jok Pare Kediri” jawabnya.
“Ow. . . ” aku mengangguk.
Mataku tak pernah bergeser dari nenek itu, dengan Jowong-nya nenek mengusap tiap tumpahan air matanya. Dan nenek perlahan keluar dari bus, langkahnya yang pelan menandakan bahwa ia tak mau berpisah dengan cucunya. Namun perjalanan ini harus terus dilanjutkan, nenek itu terus berdiri dan melambaikan tangan untuk cucunya. Bus kami telah masuk ke dalam kapal dan nenek terus melambaikan tangan.
“nenek doa’kan cucumu dan dan do’akan kami yang kebetulan bersama dengan cucumu agar kami selamat dalam perjalanan, sukses atas apa yang kami usahakan dan di masa yang akan datang cucu nenek akan kembali untuk menjaga dan merawat nenek, doa’kan kami !”

Sumber Fotohttp://situkangmulung.blogspot.com/2012/11/sisi-sungai-setelah-banjir.html


Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Sasak: 50 Kalimat Populer Di Pulau Lombok

Kamus Bahasa Lombok/Sasak (A-D)

Bahasa Sasak : Ungkapan sehari-hari