Aturan Tak Tertulis
Menghabiskan
masa anak-anak di dusun adalah masa dimana aturan-aturan adat dusun tak
tertulis mulai dituturkan. Orang tua – orang tua yang telah lebih dahulu
menerima titah sang pendahulu melakukan hal yang sama kepada kami yang kecil.
Aturan
yang tidak disusun dengan menghabiskan anggaran dusun, aturan yang disusun
tidak dari rapat rancangan komisi tiga dewan perwakilan dusun, aturan yang
disusun bukan karena hasil demonstrasi anak-anak kecil yang butuh kejelasan
batas-batas permainan yang mereka nikmati, aturan yang disusun bukan untuk
mendapat keuntungan
ekonomi.
Adalah
sebuah aturan sederhana,
sederhana
tapi sangat mengena
sesederhana
permainan anak-anak dusun
tidak
ada sanksi tapi terhujam kuat dalam hati
tidak
ada sanksi tapi kami tetap patuhi
tidak
ada sanksi tapi kami terus taati
aturan
non formal,
tidak
untuk dipolitisasi,
tidak
untuk memanipulasi,
tidak
untuk adu argumentasi,
Aturan
itu kami terima dan kami taati, kami menelan mentah-mentah aturan itu semenjak
raga mulai mengenal tingkah dan kata.
Kaum
tuapun menerima tanpa tanya, aturan yang telah membentuk karakter anak-anak
dusun. Aturan yang tidak disertai sanksi, namun disisipkan kesadaran hati untuk
terus taat aturan tanpa harus banyak tahu dan banyak bertanya.
Prinsip
orang tua dusun adalah “jangan banyak bertanya terhadap aturan yang diberikan
orang tua, karena tidak ada orang tua yang menginginkan celaka atas anaknya”.
Terlalu banyak bertanya tentang larangan kadang hanya akan menimbulkan
penentangan dengan dalih kini jaman sudah berbeda, aturan orang tua tidak
berlaku lagi untuk anak-anak jaman modern.
Entahlah
. . . .
Aku
termasuk anak yang menjumpai zaman dimana aturan itu masih ada, aturan tanpa
sanksi. Aturan tak tertulis.
“Tidak
usah banyak bertanya tentang aturan ini, karena Bunda juga menerima ini dulu
dari kakek dan nenekmu, nanda” Bundaku berpesan.
“Mungkin
tanpa Bunda harus menjelaskan panjang lebar, suatu saat dirimu akan tahu kenapa
aturan itu Bunda sampaikan kepadamu” lanjut Bunda.
Aku
ingat :
“Betabeq
mun te liwat dengan
loweq”
“Ndaq
tokol leq lawang”
“Ndaq
besuap kadu senduk”
“Ndaq
tokol galeng”
“Ndaq kedek mun wah Maghrib”
“Ndaq girang sambut ongkat batur mun ndeq man engkah ngeraos”
“Ndaq kedek mun wah Maghrib”
“Ndaq girang sambut ongkat batur mun ndeq man engkah ngeraos”
“Ndaq
keras mun ngeraos leq julu inaq amaq”
“Ndaq
lupaq nyampah”
“Saq mame berajah taek kayuq dait berajah
belembah”
“Saq Nine berajah meriap dait berajah bebande”
“Saq Nine berajah meriap dait berajah bebande”
“Mun
bekelor ndeqn kanggo besalo”
“Mun
bekelor sembih mi nyet juluq”
“ . . . . .de el el . . . .”
“ . . . . .de el el . . . .”
Menerapkan
aturan dusun hasil karya cipta anak dusun untuk anak-anak dusun memang mudah,
karena karakter dan sifat yang terikat kuat dalam darah dan daging yang melekat
pada raga mereka adalah bukti dari ditegakkannya aturan-aturan dusun yang
sederhana itu. Aturan yang mengajarkan ketaatan dan kepatuhan anak terhadap
komando orang tua, . . .
Perkembangan
jaman yang terus menjalar hingga ke pelosok negeri, telah menyisakan kenangan
masa lalu kaum tua di dusun ku. Maka tiap detik waktu yang terlampaui telah
menyisakan jejak kenangan yang dulu sempat terekam sejarah. Masa dimana kaum
muda pedalaman Suku Sasak masih hidup damai dengan alam. Suasana dusun tanpa
teriakan suara-suara mesin, tanpa aroma bensin dan solar, tanpa listrik, tanpa
Ha Pe.
Kondisi
dusun dengan rona khasnya, hanya ada hewan ternak, alat-alat pertanian dan
perlengkapan memasak. Kisah yang dulu mereka alami kini aku coba gali kembali
dari bongkahan pengalaman yang tertumpuk dalam ingatan Papuq dan Bundaku. Dan aku berharap
ini menjadi dokumen sejarah bagiku dan untuk generasi seterusnya.
Papuqku
yang hidup sejak jaman Nipon tentu memiliki daya ingat yang sudah mulai
melang-lang buana, dengan umur sekitar seratus tahun tentu saja ingatannya
bukan hal yang aku banggakan untuk saat ini,
sehat dan terus taat kepada Tuhannnya itulah yang do’a yang paling utama untuk lelaki tua seperti
Papuqku.
Sumber Foto: http://www.kursusmengemudisurabaya.com/tag/peraturan-lalu-lintas-baru/
Comments
Post a Comment