Malam Akhir Ramadhan


Aku fikir aku adalah orang yang selalu menemui hal yang sama dalam tiap moment lebaran di dusun kecilku. Meski begitu, tak pernah terlintas dalam benakku istilah 'jenuh' atau 'ah ga asyik, masak lebaran nemunya hal kayak gini terus', tidak sama sekali. Sesekali suara "kenikusan" memekakkan telinga, cahaya "dilah copok" sepanjang jalan di dusun ku terus menyala hingga minyaknya habis, tidak seperti di kota dengan berbagai kelap-kelip sinar lampu, kembang api dan mercon. 

Tapi kali ini aku beruntung, malam yang beda sekali, anak-anak seusiaku berkumpul di depan gerbang masjid menunggu acara lomba takbiran yang diadakan remaja masjid, tapi dengan satu syarat lomba takbiran akan dimulai bila pengumuman resmi hasil sidang isbat penetapan tanggal 1 Syawal oleh pemerintah jatuh esok hari.

Sepertinya saat itu kami terlalu 'lebay', bagaimana tidak malam itu aku dan kelompok telah menyiapkan segala asesoris mulai dari jenggot dari bulu kambing, peci, sarung dan tentu aku telah melatih suara emasku karena akulah "Sang Vokalis".

"ha . . . alhamdulillah. . . Lebaran besok pagi" kami bersorak kegirangan. Kami bahagia bahwa esok kami lebaran setelah puasa ramadhan meski kami tidak puasa full satu bulan.

Lombapun dimulai, layaknya kontes tahfiz kaayak yang di tipi aku mulai menganalisa kelemahan lawan, mulai dari bacaannya, lafaz tiap huruf, hingga penggunaan nada dalam setiap baitnya. Setelah dua kelompok selesai melaksanakan kontes, kini giliran kelompokku, aku mengambil mic dan mulai mengeluarkan untaian suara emas yang terurai keluar dari sela pita suaraku.

"Allahuakbar
Allahuakbar
 Allahuakbar
Laailaahaillallahu
Wallahuakbar
Allahuakbar
Walillahilhamd"

Aku mencoba menghayati dan menikmati setiap lafaz yang aku ucapkan. Bukan maksud hati sombong namun seperti dugaanku di akhir acara kelompokkulah yang menjadi pemenang. Itu adalah kemenangan yang sempurna untuk acara takbiran pertama dan terakhir yang pernah aku ikuti.

Lebaran saat itu masih tertancap kuat dalam lembah ingatan terdalamku. Lebaran yang kental dengan adat khas suku sasak pedalaman. Pagi-pagi Bunda menyetel radio Panas*nic tua satu-satunya yang kami punya hanya untuk mendengar suara takbiran, suara 'keokan' ayam pertanda penyebelihan telah usai, aroma bumbu pedas khas masakan dusun, asap mengepul dari sela dapur yang tertutup urat-urat jerami yang kokoh, sekokoh rindu ini akan suasana lembaran waktu itu.
"Bunda, besok kita lebaran artinya hari ini kan kita beli baju baru ya, ya ya ya . . ." rengekku manja. "Memangnya baju baru buat apa?" jawab Bundaku singkat. "nanti di masjid tidak kalah saing sama batur-baturku, Bunda tahu si Iki kemarin dibelikan baju baru oleh ibunya, Mail dan Said malah dibelikan sandal, baju dan peci baru, masak saya tidak begitu ???" saya mencoba meyakinkan Bunda. "ckckckck. . ." sambil senyum renyah Bunda geleng kepala. "Nanti Bunda perlihatkan sesuatu kepadamu nanda" senyumnya ia bawa ke dapur meninggalkan rengekkanku seorang diri.
Tetapi aku sedikit merasa agak aneh, melihat senyum Bunda yang seolah sejuta makna itu. "hmmm, Apa arti senyum itu ?" Aku jadi penasaran apakah gerangan yang akan diperlihatkan Bunda.
"Nanda . . ." Bunda memanggil. Aku jadi deg-degan, semua urat nadi ini serasa terlalu sempit untuk sekedar mengalirkan darahku yang deras ini. "iya bund" jawabku sambil mengatur nafas. "Besok setelah sholat shubuh ikut Bunda, kita ke Papuq Seriasih memberikan zakat fitrah ini" kata Bunda. "ya" jawabku singkat.
Sama sekali idak ada yang spesial hari itu, tidak ada kejutan, tidak ada baju baru, tidak ada peci baru dan aku kecewa. Aliran darah yang tadinya deras kini entah kemana, hanya ada rasa kecewa bahwa lebaran ini aku tidak ada baju baru dan aku akan malu duduk bersama dengan mereka yang mengenakan pakaian baru ketika lebaran nanti.
Pagi ba'da shubuh kami ke rumah Papuq Seriasih sekitar satu kilometer dari rumah kami. Dengan rasa iba
pada diri sendiri yang tersisa dalam raga aku mencoba melangkahkan kaki mengiringi langkah Bunda. Setibanya kami di sana, kami mendapati Papuq Seriasih bersama cucunya seusiaku sedang membuat bumbu untuk sarapan hari lebaran ini. Kemudian Bunda mengeluarkan zakat fitrahnya. Aku kaget, mataku yang sedari tadi terkatup layu tak semangat kini menatap tajam. Bunda tidak hanya membawa zakat fitrah tetapi juga baju lebaran yang aku kenakan lebaran tahun lalu. "Bunda, dirimu lebaran ini tak ada tanda sedikitpun memahami perasaan anakmu ini, baju baru tak ada malah baju bagus satu-satunya dirimu berikan ke orang lain, nanti saya pakai apa Bunda?" kata hatiku yang semakin gundah. Setelah selesai kamipun pulang. Aku kali ini benar-benar tak dianggap ada, aku benar-benar kecewa.
"nak, sini sebentar" Bunda memanggilku. Akupun penuhi panggilannya. "Bunda tahu setiap lebaran anak Bunda selalu mau memakai baju baru, Bunda sudah tahu itu" Bunda mengusap kepalaku. "tapi Bunda tidak mau ibadah anak-anak Bunda nilainya hangus hanya karena niat pakai baju yang salah, ibadah itu bukan ajang untuk pamer baju baru, pamer hasil setrikaan yang terlipat rapi, pamer sandal dan peci baru" Bunda mencoba memahamkanku tentang nilai dengan untaian kalimat sederhana yang sarat akan makna. "bajumu yang Bunda berikan ke cucunya Papuq Seriasih itu cocok dan muat di badannya yang tidak sebesar badanmu, meski kalian seumuran" sambung Bunda. "Mungkin dia kurang gizi" fikirku menafsirkan kalimat Bunda. "jangan ada benak pamer lagi ya . . ." pesan Bunda sambil memasangkan aku baju baru.
Aku ternyata salah besar, begitu aku tiba di rumah semua perasangka burukku tadi tentang Bunda berguguran bagai daun randu di tengah musim panas.
Baju kaos biru dengan gambar depan seseorang
berbaju hitam yang menggunakan penutup kepala bersongot dua di atas dahi dengan motor trail, baju khas lebaran anak dusun kala itu. Sarung 'kèrèng béndang' adalah Seliwoq kesukaanku kala itu, pakai peci hitam dengan goresan menyilang 'Minyak Sengéh / Péndér' di ujungnya.
"ingat ya . . . jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer, jangan pamer . . ."aku mencoba mengingat pesan Bunda.
Pemikiran Bunda tak akan bisa berada dalam level yang sama dengan anak. Maka belajarlah ketulusan itu dari Bunda, ia yang bangun pagi buta namun tidur malam setelah memastikan pelita-pelita kecilnya tidur lelap. . .
Keesokan harinya di masjid itu, masjid tua beratap susun tiga dengan bulan sabit di atasnya, jamaah dusun berkumpul untuk sholat 'iedul fitri. Di sini aku heran, tiap aku melihat kaum tua saling rangkul dan menangis sejadi-jadinya, aku yang kecil tidak mengerti apa arti tangisan itu. Itukah air mata penyesalan atas keangkuhan dan kesombongan selama sebelas bulan atau memang mereka adalah orang yang cengeng. Aku tidak paham, aku terlalu sibuk membersihkan hidungku yang terlalu aktif mengeluarkan lendir itu.
Namun pemandangan yang berbeda ketika mataku mengarah ke barisan anak muda bertubuh kekar, tanpa keriput sedikitpun, tidak terlihat linangan apalagi tetesan air di sudut mata mereka. Apa itu berarti mereka tidak punya kesalahan yang perlu ditangisi, atau mereka mampu menahan air mata mereka, atau hati mereka keras sehingga tak mampu lagi menumpahkan air mata.
Perilaku orang dewasa memang aneh, tidak seperti kami kumpulan anak kecil. Tapi entahlah suatu saat nanti mungkin aku termasuk salah satu dari mereka, menumpahkan air mata atau menjadi mereka yang tidak berair mata, apakah aku bisa sampai seumuran mereka aku juga tidak tahu. Yang jelas aku anak dusun yang ingin suatu saat kembali di hari lebaran bersama teman-teman kecilku saat aku tua kelak untuk menangis bersama atau sekedar tangis haru bahagia bersama di dusun kecil ini.


Sumber Foto : punyasaya.co

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Sasak: 50 Kalimat Populer Di Pulau Lombok

Kamus Bahasa Lombok/Sasak (A-D)

Bahasa Sasak : Ungkapan sehari-hari