My Beloved Dusun Bongkem Waktu Dulu
Tahun 1992 Dusun kecil ini masih sangat sederhana. Bangunan masih beratap anyaman daun ilalang dan berpagar anyaman bambu, kicauan burung, gemercik air riak di sungai kecil, suara ternak berteriak menagih rejeki, jalan utama yang membelah dusun masih terlihat kasar, jalan dilapisi tanah berdebu dan kerikil-kerikil asli dusun, kabel-kabel listrik belum masuk. Siang bermandikan cahaya matahari, sedang malamnya rumah-rumah penduduk hanya di terangi bintik bintang-gemintang, beberapa kali terpapar cahaya bulan, sebuah Penyambean, lampu khas berbahan bakar minyak tanah, menajdi penerang utama malam. Barang elektronik termewah yang ada saat itu hanya radio dengan enam biji batu baterai.
Semua aktivitas hari-hari biasa dilakukan siang hari,
sedang malam hari hanya untuk istirahat. Tiap malam penduduk dusun ini tidur di dekat kandang-kandang ternak mereka, bukan karena mereka tidak punya rumah, hanya untuk menjaga ternak mereka dari kemungkinan
pencurian. Kandang ternak di dusun ini
selalu berdampingan dengan rumah, dan jendela kamar selalu menghadap ke arah
kandang. Semua anak laki-laki yang masih
belum mahir memainkan pecut dan anak-anak perempuan tidur di dalam rumah,
sedang laki-laki remaja dan tetua harus tidur di luar untuk berjaga.
Dusun ini waktu itu mencerminkan semua karakter khas
rumah kaum pedalaman Suku Sasak ditandai dengan bentuk rumah yang tinggi, dua
lantai, berpagar bedek, beratapkan anyaman daun ilalang, berlantaikan kotoran
sapi yang dioles rata. Tiap
rumah wajib memiliki Jebak,
kala ayam sudah naik ke pelataran, pertanda malam menjelang. Tidak akan ada Jebak
terbuka saat itu. Jadwal bertamu siang hari, di rumah atau di sawah.
“Jangan lupa tutup jebak!” kakekku mengingatkan ayah.
“Ya, saya mau kurung ayang dulu” timpal ayah
Ketika
pergi mengaji ke Mushalla masing-masing santri membawa sebuah Penyambean dan asapnya yang mengepul lumayan tebal tak melayang semua
keluar Mushalla, asap masuk hidung itu
sudah pasti dan hanya akan terlihat saat pagi tiba.
Hidup
sangat sederhana, makan malam setelah Sholat Isya’ bersama keluarga di teras. Di malam
yang gelap ada sayur bayam, sambal terasi dan sebuah Penyambean di tengah kami. Beralaskan tikar pandan, tersaji suasana kekeluargaan yang sangat spesial.
Bibir kami tak pernah kering dari canda dan tawa. Biasanya ayahku
selalu mengisahkan cerita-cerita kuno jaman itu, saya yakin anak-anak
Suku Sasak yang lahir sekitar tahun 80-an atau sebelumnya mungkin mengenal cerita-cerita ini, Timun Bongkok,
Batêq Bêlo,
Cupak Gerantang, Cilinaye, Tetuntel-tuntel,
. . .
Aku dan kakek waktu itu tidur di luar, beralas tikar
pandan dan beratap langit malam. Dirumahku sangat sepi, saat itu direnovasi dan
anggota keluargaku yang lain pergi ke rumah paman dari ayah untuk persiapn
syukuran. Aku yang kecil kala itu di manja dengan cerita kuno yang hingga kini
aku belum temukan dokumen atau tulisan tentang cerita-cerita itu.
Kakekku duduk bersila dan sedikit menyandarkan
punggungnya di gundukan tanah galian rumah itu, dan memulai ceritanya.
Komentar
Posting Komentar